Rabu, 03 Februari 2010

nasib adalah kesunyian masing-masing Jeneng

– what’s in a name? that which we call a rose

Pada setiap nama, otoritas eksternal sebenarnya sedang memamerkan ujudnya.
Ada kutipan bagus dari James Joyce, novelis Irlandia yang terkenal karena karya besarnya, “Ullyses”. Dalam sepucuk surat yang ditulis pada 18 September 1905, Joyce berkata pada saudaranya, Stanislaus: “Kupikir, setiap anak berhak untuk menggunakan nama ayah atau ibunya jika ia kelak sudah dewasa.”

Joyce bukan orang yang memuja komunalisme dan nilai-nilai luhur keluarga. Novel semi-autobiografisnya, “A Portrait of the Artist as a Young Man”, menunjukkan betapa Joyce berusaha membebaskan diri bukan hanya dari standar moral keluarga, tapi bahkan dari nilai-nilai Kristen, serta keharusan berbakti pada negara. Kutipan Joyce di atas justru mencoba menegaskan kerinduannya pada kebebasan individual, termasuk kebebasan untuk menggunakan nama yang diinginkan setiap orang, apakah itu nama ayah atau ibunya atau apa pun.

Setiap bayi yang baru lahir, tak pernah bisa bicara, karenanya cukup banyak alasan memilihkan si bayi nama yang sekiranya paling baik tanpa harus dan perlu berembuk lebih dulu dengan si bayi. Di situ, nama menjadi penegasan, betapa setiap bayi sebenarnya tak sendiri. Dalam ketidaksendiriannya itulah, setiap nama justru menjadi peneguhan, betapa banyak sekali otoritas di luar dirinya yang sedang mulai merasuk-mendalam.

Otoritas di situ beragam bentuknya. Sering kita dengar, keluarga besar si bayi harus berembuk lebih dulu ihwal nama yang dipilih. Sang ayah kadang berebut memberi nama dengan sang ibu. Urusan makin kompleks jika kakek atau paman atau anggota keluarga besar lainnya ikut-ikutan berembuk dan sama-sama ingin menyumbangkan nama pilihan masing-masing. Tidak semua mengalami kasus demikian, tapi saya cukup yakin kejadian di atas bukan sekali dua terjadi di banyak keluarga.
Pada otoritas eksternal yang menentukan nama apa yang harus disandang seorang bayi, sebenarnya terdapat satu otoritas lain yang lebih tak kasat mata, yaitu sistem pengetahuan dan pranata sosial.

Sistem pengetahuan di sini mungkin bisa mengacu pada apa yang oleh Thomas Kuhn sebut sebagai “paradigma”: pola pengetahuan yang baku dan terbakukan pada satu periode tertentu, yang secara sadar atau tidak setiap individu yang hidup dan terdidik pada sistem pengetahuan tersebut akan bertindak dan berpikir dengan cara yang sepenuhnya merujuk dan sesuai dengan nilai-nilai pengetahuan tersebut.
Nama-nama orang Jawa, misalnya, terpola dalam beberapa jenis. Nama perempuan Jawa sering diakhiri dengan suku kata “nem/em”: Painem, Pariyem, Paijem, dsb. Sementara nama laki-laki Jawa sering diakhiri dengan suku kata “o” atau “man”: Paiman, Poniman, Legiman, Paimo, Kusumo, Pawiro, dll.

Orang-orang Sunda, misalnya, terkenal karena senang mengulang satu suku kata sebagai nama: Maman, Dadang, Nanang, Cecep, Nining, Neneng, dsb. Pola lainnya, orang-orang Sunda juga senang menggunakan nama belakang yang sebagiannya merupakan duplikasi dari nama depan: Yayat Hidayat, Maman Suryaman, dll. Untuk jenis yang kedua ini, biasanya hanya digunakan pada nama anak laki-laki.

Apa yang terjadi pada nama-nama orang Sunda ini paling mudah untuk dijadikan contoh ihwal bercokolnya satu sistem pengetahuan yang sudah baku dan terbakukan dalam satu kebudayaan.

Pola penamaan dalam kebudayaan Sunda macam itu, misalnya, nyaris sejajar dengan pola berbahasa orang-orang Sunda. Dalam Bahasa Sunda, kata ulang muncul tidak seperti dalam Bahasa Indonesia di mana satu kata diulang secara utuh (misal: gatal-gatal). Dalam Bahasa Sunda, padanan untuk gatal-gatal adalah “gararateul” (dari akar kata “gateul”).

Sebenarnya, tidak ada keharusan untuk menggunakan pola-pola penamaan macam itu. Hanya saja, karena orang Jawa hidup di masyarakat yang umumnya memilihkan nama dengan pola-pola macam itu, masing-masing orang akan berpikir dengan pola pengetahuan yang sama sewaktu hendak menamai anaknya.
Jika hari ini banyak orang Jawa atau Sunda atau kebudayaan-kebudayaan lain tidak menamai anaknya dengan pola-pola macam itu, semuanya pastilah dimungkinkan oleh makin terbukanya cara pandang dalam menyikapi perubahan yang bersirobok ke halaman depan masing-masing kebudayaan.

Saya bukan antropolog yang mempelajari pola-pola kebudayaan di banyak teritori. Tapi, setahu saya, nyaris semua kebudayaan percaya, nama punya arti penting bagi setiap manusia. Itulah sebabnya, nama tak dipilih secara sembarangan. Menamai seorang anak perlu memerhitungkan banyak faktor: hari lahir, weton, hitungan-hitungan angka yang bisa memberi gambaran seperti apa karakter si bayi ketika dewasa, dsb.

Betapa pun nama-nama orang Jawa terlihat arkaik jika dilihat pada masa sekarang, tapi ia tidak dipilih secara serampangan. Di sana terpampang logika berpikir sebuah masyarakat, cara satu kebudayaan menghayati kosmologi, ruang dan waktu. Nama Legiman atau Poniman pasti berhubungan dengan sistem kalender yang dianut (lahir pada pasaran Legi atau Pon).

Karena dipilih tidak serampangan itulah, setiap nama tak bisa sembarangan dipakai dan diganti. Hingga kini, kita masih cukup mudah menjumpai “joke” bahwa seseorang mesti menyediakan bubur (jenang) merah dan bubur putih lebih dulu jika iseng-iseng mencoba menggunakan nama selain yang disandangnya sejak kecil. Saya tidak tahu, adakah hubungan antara bubur dengan nama, karena dalam bahasa Jawa, bubur itu disebut “jenang” dan nama itu disebut “jeneng”. Bedanya hanya satu huruf saja.
Di Bali, nama bahkan secara eksplisit menunjukkan hirarki, entah hirarki dalam keluarga atau hirarki dalam struktur kehidupan sosial.

Kita cukup mencermati nama seorang Bali untuk mengetahui dia anak ke berapa di keluarganya. Nama anak pertama biasanya terdapat unsur nama “Gede”, “Wayan” atau “Putu”. Untuk anak kedua, nama yang digunakan –misalnya—“Made” atau “Kadek”. Untuk anak ketiga, dipakai nama –seperti—“Nyoman” atau “Komang”. Untuk anak keempat, biasa digunakan nama –contohnya—“Ketut”. Hirarki nama kembali ke awal untuk anak nomer lima dan seterusnya.

Dalam banyak contoh, seringkali, nama bahkan menunjukkan pula kedudukan seseorang dalam hierarki sosial. Nama-nama seperti Gusti, Cokorda, atau Anak Agung biasa disandang oleh orang-orang yang di tubuhnya mengalir darah bangsawan, katakanlah berasal dari kasta Brahmana atau Ksatria. Sementara untuk kasta Waisya dan Sudra digunakan nama-nama seperti Ketut, Nyoman, Made, dll.
Dalam hal yang terakhir ini, sudah cukup banyak kritik yang diajukan. Kritik terhadap nama-nama yang sering digunakan untuk menunjukkan prestise keluarga menjadi bagian kecil dari kritik besar terhadap apa yang disebut oleh orang-orang progresif di Bali sebagai “salah paham pengertian mengenai kasta”. Mereka mencoba mengembalikan doktrin “Catur Vrna” yang sebenarnya membagi masyarakat berdasar keahlian masing-masing, bukan menjadi hirarki sosial yang termanifestasi dalam doktrin mengenai kasta yang berlapis dan kaku.

Kurang lebih, ini seperti nama Cut atau Teuku di Aceh yang biasanya digunakan oleh keturunan keluarga bangsawan (uleebalang). Masalah akan muncul saat seseorang menggunakan nama yang dalam logika berpikir masyarakatnya dianggap tidak layak disandang. Artis Cut Memey sempat digugat, berhak-tidaknya ia menyandang nama “Cut”. Gugatan itu, seingat saya, baru muncul setelah Cut yang bukan Nyak Dien satu itu sering muncul di infotainment dalam serangkaian skandal dan affair.
Di sana, dapat disaksikan para pendukung dan penghayat kebudayaan Aceh, mereka yang dalam logika berpikir tulisan ini disebut sebagai “pemilik otoritas” (katakanlah orang-orang Aceh atau bahkan keturunan Ulebalang) mencoba menegaskan kembali pranata soal nama, seraya pada saat yang sama bisa dibaca sebagai ikhtiar meneguhkan primordialisme, keutuhan budaya – dan dengan demikian meneguhkan “otoritas”.

Di kebudayaan lain, nama juga menyandang “beban” klan, misalnya Batak. Ada ratusan nama klan/marga Batak. Nama marga yang populer, di antaranya, Nasution, Lubis, Rajagukguk, dll. Sementara nama marga lain yang –mungkin—tidak begitu populer, misalnya, Dipari, Munthe, Pardosi, dll. Setiap nama marga punya riwayat sejarahnya sendiri-sendiri. Sejarah kelahiran nama-nama marga bisa dibaca sebagai biografi penyebaran, interaksi dan sengketa antara satu marga dengan marga yang lain.

Contoh-contoh nama seseorang bisa menunjukkan sistem pengetahuan dan pranata sosial bisa diperbanyak hingga batas yang terjauh. Contoh-contoh yang saya berikan sekadar untuk menegaskan, betapa nama bukanlah persoalan sepele. Dengan nada yang sedikit berbau Foucaultian, bolehlah dikatakan, setiap nama adalah “situs arkeologi”, petilasan, di mana otoritas bisa dilacak bekasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar